Musik Liturgi adalah musik yang digunakan untuk ibadat / liturgi, mempunyai kedudukan yang integral dalam ibadat, serta mengabdi pada kepentingan ibadat. Dalam Sacrosanctom Concilium (SC) art. 112 dikatakan: “Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat berhubungan dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak.”
Musik / nyanyian liturgi mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, seperti yang diuraikan dalam SC art. 114: “Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. … Para uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka.”
Musik Rohani adalah musik yang sengaja diciptakan untuk keperluan diluar ibadat liturgi, misalnya: pertemuan mudika, arisan-arisan, rekreasi, pelatihan, pentas musik rohani, rekaman, sinetron, nongkrong di café bahkan sampai dengan usaha membentuk suasana rohani di rumah (definisi lebih detail dapat dilihat di bawah: Perbandingan antara musik liturgi, musik pop rohani dan musik profan).
2. Bagaimana kedudukannya dalam ibadat?
Musik liturgi memiliki fungsi dan kedudukan yang jelas dalam ibadat, misalnya:
a) Nyanyian Pembukaan, tujuannya adalah membuka misa, membina kesatuan umat yang berhimpun, mengantar masuk ke dalam misteri masa liturgi atau pesta yang dirayakan, dan mengiringi perarakan imam beserta pembantu-pembantunya (Pedoman Umum Misale Romawi baru / PUMR no. 47-48).
b) Nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami, sifatnya adalah berseru kepada Tuhan dan memohon belaskasihannya. Teks liturgi yang resmi adalah: (1) seruan “Tuhan kasihanilah kami” dibawakan oleh imam / solis dan diulang satu kali oleh umat, (2) seruan “Kristus kasihanilah kami” dibawakan oleh imam / solis dan diulang satu kali oleh umat, (3) seruan “Tuhan kasihanilah kami” dibawakan oleh imam / solis dan diulang satu kali oleh umat (PUMR no. 52).
c) Madah Kemuliaan, kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati dari zaman Kristen kuno. Lewat madah ini Gereja yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Allah Bapa dan Anak domba Allah, serta memohon belas kasihan-Nya. Teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks lain, juga tidak boleh ditambahi atau dikurangi, atau ditafsirkan dengan gagasan yang lain (PUMR no. 53).
d) Nyanyian Mazmur Tanggapan merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda. Mazmur Tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas Sabda Allah (Bacaan I dari Kitab Suci Perjanjian Lama). Mazmur Tanggapan biasanya diambil dari buku Bacaan Misa (Lectionarium), para petugas / pemazmur biasanya menggunakan buku resmi “Mazmur Tanggapan dan Alleluya Tahun ABC”.
e) Nyanyian Ayat Pengantar Injil / Alleluya, dengan aklamasi Ayat Pengantar Injil ini jemaat beriman menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka dalam Injil, dan sekaligus menyatakan iman (PUMR no. 62).
f) Nyanyian Aku Percaya (fakultatif, maksudnya boleh tidak dinyanyikan): maksudnya adalah agar seluruh umat yang berhimpun dapat menanggapi sabda Allah yang dimaklumkan dari Alkitab dan dijelaskan dalam homili. Dengan melafalkan kebenaran-kebenaran iman lewat rumus yang disahkan untuk penggunaan liturgis, umat mengingat kembali dan mengakui pokok-pokok misteri iman sebelum mereka merayakannya dalam Liturgi Ekaristi. Oleh karenanya tidak diperbolehkan menggantinya dengan teks lain (PUMR no. 67-68)
g) Nyanyian Persiapan Persembahan, tujuannya adalah untuk mengiringi perarakan persembahan, maka digunakan nyanyian dengan tema persembahan. Kalau tidak ada perarakan persembahan, tidak perlu ada nyanyian (PUMR no. 74).
h) Nyanyian Kudus adalah nyanyian partisipasi umat dalam Doa Syukur Agung. Nyanyian Kudus harus diambil dari buku teks resmi (TPE) (PUMR no. 78 b).
i) Nyanyian Bapa Kami, tujuannya adalah untuk mohon rezeki sehari-hari (roti Ekaristi), mohon pengampunan dosa, supaya anugerah kudus itu diberikan kepada umat yang kudus. Teks Bapa Kami harus diambil dari buku teks misa resmi (TPE) bukan dari teks yang asal-asalan atau teks liar (PUMR no. 85)
j) Nyanyian Anak Domba Allah, tujuannya adalah untuk mengiringi pemecahan roti dengan teks misa resmi sbb: “Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami (2 X). Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia, berilah kami damai.” (PUMR no. 83).
k) Nyanyian Komuni tujuannya adalah: (1) agar umat secara batin bersatu dalam komuni juga menyatakan persatuannya secara lahiriah dalam nyanyian bersama, (2) menunjukkan kegembiraan hati, dan (3) menggarisbawahi corak “jemaat” dari perarakan komuni. Maka lagu komuni harus bertemakan komuni / tubuh dan darah Kristus, tidak boleh menyanyikan lagu untuk orang kudus / Maria, Tanah Air, panggilan – pengutusan, atau yang lain (PUMR no. 86).
l) Nyanyian Madah Pujian sesudah Komuni dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas santapan yang diterima yaitu tubuh (dan darah) Kristus sebagai keselamatan kekal bagi manusia (PUMR no. 88).
m) Nyanyian Penutup bertujuan untuk mengantar imam dan para pembantu-pembantunya meninggalkan altar dan menuju ke sakristi.
Sedangkan musik rohani / pop rohani tidak memiliki tujuan-tujuan seperti di atas, kalaupun ada yang menggunakannya dalam misa itu artinya dipaksakan. Lebih jelas dapat Anda lihat dalam buku “Kidung Syukur” yang beredar di Keuskupan Agung Jakarta, banyak lagu pop rohani yang dipaksakan menjadi lagu liturgi. Misalnya lagu “You rise me up” (Kidung Syukur no. 508, kalau Anda memiliki Kidung Syukur silakan dibuka), mari kita lihat bersama: pertama siapa yang dimaksud dengan “you” dalam syair lagu itu? Yesus Kristus? Tidak, karena memang tidak ada satu katapun mengenai Yesus. Kalau kata “you” yang dimaksudkan adalah untuk Yesus mengapa diungkapkan secara samar-samar? Kedua, lagu ini sangat individual yang justru sangat bertentangan dengan liturgi Gereja yang eklesial. Ketiga, mengapa harus berbahasa Inggris? Apakah umat yang sederhana dan tidak mengerti bahasa Inggris bisa menghayati lagu tersebut? Apakah dengan lagu yang branded, Tuhan akan selalu mengabulkan permohonan kita, karena sudah pasti terjamin mutunya?
Kesimpulannya lagu ini tidak bisa dimasukkan dalam Liturgi, karena tidak berhubungan erat dengan upacara ibadat, tidak mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, dengan syair yang sangat individual lagu ini tidak memupuk kesatuan hati umat beriman yang sedang beribadat. Kesimpulan ini berlaku bagi semua lagu pop rohani yang beredar di kalangan umat, karena musik rohani memang tidak liturgis, tidak memiliki fungsi dan kedudukan yang jelas dalam ibadat. Dengan kata lain semua lagu pop rohani / musik rohani jelas-jelas bertentangan dengan isi Konstitusi Liturgi (SC) art. 112.
Musik Liturgi Katolik Jawa
Surabaya dan Sidoarjo itu berada di JAWA Timur, tapi saya sangat jarang melihat perayaan ekaristi dilakukan dengan 'cara Jawa'. Musik liturgi berbasis etnik Jawa sangat jarang. Kalaupun ada, ya, cuma satu dua lagu dari Puji Syukur atau Madah Bakti yang kebetulan menggunakan tangga nada pentatonik Jawa.
Saya juga mengecek ke teman-teman Gereja Kristen Jawi Wetan [GKJW], yang dikenal sebagai gereja pribumi di Jawa Timur. Ternyata, belakangan ini GKJW makin mengindonesia. Nyanyian-nyanyian dan kebaktian menggunakan Kidung Jemaat berbahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. Ya, tidak ada beda dengan GPIB [Gereja Protestan Indonesia Barat] atau GKI [Gereja Kristen Indonesia].
Di Paroki Pagesangan, Surabaya, ada kebiasaan menggelar misa berbahasa Jawa--termasuk penggunaan gamelan, khotbah, semua dalam bahasa Jawa--pada hari Minggu kelima. Minggu kelima itu kan sangat jarang, sehingga boleh dikata misa jawa ini tidak populer. Umat di sini, yang berlatar Jawa sekalipun, gamang dengan bahasa daerahnya.
Musik litugi berbasis pentatonik Jawa? Apalagi.
Tidak aneh. Sebab, sejak awal agama Kristen [Katolik dan Protestan] yang disebarkan di Indonesia pada abad ke-16 memang gereja-gereja berwajah Barat. Para misisonaris kurang mengembangkan musik liturgi ala Indonesia, bahkan cenderung mencemooh gending-gending Jawa sebagai kurang rohani, kurang pantas untuk kebaktian.
Kalaupun GKJW menggunakan nyanyian berbahasa Jawa di desa-desa, sebetulnya tangga nadanya tetap 100 persen Barat. Syairnya saja yang Jawa. Melodi dan sebagainya sama persis dengan nyanyian di gereja-gereja Barat.
Maka, lokakarya komposisi musik litugi di Surabaya beberapa waktu lalu, meski tak banyak yang tahu, sangat menarik. Para pegiat musik liturgi Katolik dari berbagai daerah di Jawa Timur berupaya mengangkat musik daerah, jawa timuran, untuk perayaan ekaristi. Tokoh Pusat Musik Liturgi [PML] Jojakarta--Romo Karld Edmund Prier SJ dan Paul Widyawan--hadir memberikan masukan berharga untuk para pemusik dan pembina paduan suara di sini.
"Selama ini Jawa identik dengan Jogjakarta dan Surakarta yang dikenal memiliki gaya musik halus dan lembut. Padahal, ada daerah lain di Jawa yang mempunyai karakter musik yang khas, yaitu Jawa Timur," kata Romo Prier yang mendirikan PML pada 11 Juli 1971. PML merupakan dapur pengolah musik etnik untuk 'diangkat' sebagai musik liturgi di Indonesia.
Nah, pada 1971, Gereja Hati Kudus di Jogjakarta mulai memperkenalkan Misa Inkulturasi Jawa. Misa dirayakan dalam bahasa Jawa, menggunakan lagu-lagu Jawa, yang diiringi musik gamelan. Jadi, bukan sekadar menerjemahkan lagu-lagu liturgi Barat ke dalam bahasa Jawa. Terobosan penting ini jalan di Jogja dan Jawa Tengah, tapi tidak bisa berkembang pesat.
Di Surabaya, misa ala Jawa praktis tidak jalan sama sekali. Ini diperparah lagi dengan minimnya kemampuan warga Surabaya, termasuk Sidoarjo, berbahasa Jawa. Jangankan anak-anak dan remaja, orang dewasa saja semakin sulit menguasai ungkapan-ungkapan dalam bahasanya sendiri.
Belum lagi citra bahwa berbahasa daerah identik dengan 'ndeso, 'wong kampung', 'terbelakang', 'tidak modern', dan berbagai imej buruk. Apa boleh buat, gereja pun tercerabut dari akar budayanya sendiri. Jangan heran, ada pendapat miring di Pulau Jawa bahwa 'Nasrani itu agamanya Londo [Belanda]'.
"Ini memang tantangan tersendiri bagi para aktivis musik liturgi untuk mengembangkan musik bernuansa Indonesia," kata Markus Kurnianto, teman saya, pemimpin sebuah paduan suara inkulturasi di Surabaya.
Markus mengakui tidak mudah mengembangkan musik liturgi inkulturasi di Jawa Timur baik karena kendala internal maupun eksternal. Sebab, bagaimanapun juga mencari anak-anak muda [Katolik] yang bisa main gamelan itu tidak mudah. Pula, saat ini hampir tidak anak muda yang mau belajar musik tradisional. Para orang tua lebih senang memasukkan anak-anaknya ke kursus musik Barat seperti piano, biola, flute, gitar, dan sebagainya.
Lebih parah lagi karismatik katolik. Kelompok kategorial ini nyaris tidak punya pemahaman sama sekali terhadap musik liturgi. Karismatik pakai musik pop, band, rock, musik apa saja, tanpa mempertimbangkan unsur teologis, budaya, tradisi, dan berbagai kelaziman di Gereja Katolik. Jangan heran misa ala karismatik cenderung heboh, hura-hura, dan kurang mendukung misi 'indonesiaisasi' musik liturgi.
Kalau kita membuka catatan sejarah, sebenarnya sudah cukup banyak misionaris [Protestan, Katolik] yang telah berusaha mengindonesikan gereja. Coonraad l. Coolen, lahir di Semarang 1773, wafat di Ngoro [Jawa Timur] 1873, ayah Rusia mama Solo, mewartakan Injil dengan pendekatan budaya Jawa.
"Coolen belajar mendalang dan menjadi dalang, melaras gamelan di gereja, menggunakan tradisi macapat warisan Wali Sanga...," tulis Remy Sylado.
Masih menurut Remy, penulis paling hebat di Indonesia [versi saya], Romo van Deinse SJ mengembangkan nada-nada pelog-slendro di Semarang pada tahun 1950-an. Eksperimen Romo Deinse beroleh penghargaan dari Presiden Soekarno karena dinilai sebagai sumbangan berarti bagi musik Indonesia pada umumnya.
Kini, eksperimen sekaligus kegandrungan pada musik tradisi kita diteruskan oleh Romo Karl Edmund Prier SJ bersama Pusat Musik Liturgi di Jogjakarta. Sekarang kembali kepada kita, orang serani sekaligus orang Indonesia. Sebab, melestarikan budaya bangsa, tradisi musik kita, merupakan tugas sejarah saya dan anda -- yang masih mengaku bangsa Indonesia.
Pusat Musik Liturgi Yogyakarta memajukan musik gereja yang khas Indonesia dengan:
|
PUSAT MUSIK LITURGI |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar